Currency War
Perang dagang telah membuat Presiden AS, Donald Trump, semakin berputar di sekitar peran mata uang global.
Ini adalah perubahan yang ia bawa bersama dengan tuduhannya terhadap Cina, yang menurutnya telah memanipulasi mata uang. Dan bahkan ada laporan bahwa ia dianggap telah mengadopsi praktik tersebut dengan dolar AS.
Trade War ke Currency War

Sekarang, di tengah pertikaian perdagangan dengan Cina, perang mata uang (currency war) kembali menjadi pusat perhatian karena perselisihan perdagangan global yang semakin berkecamuk.
Ini pada akhirnya telah menjadi semacam “perlombaan ke level bawah” karena negara-negara berusaha untuk mendorong nilai mata uang mereka lebih rendah dari pesaing untuk mendapatkan keuntungan dalam perdagangan. Ini juga menjelaskan mengapa Presiden Trump mengatakan dia ingin dolar AS yang lebih lemah.
Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan bagaimana negara-negara seharusnya bekerja sama untuk mencapai ekonomi yang seimbang. Ketika kerja sama rusak, pasar global akan merasakan efek negatifnya.
Itulah gambaran yang cukup tepat untuk apa yang sedang terjadi di seluruh dunia selama beberapa bulan – dan para ahli semakin khawatir bahwa tidak ada akhir yang terlihat dari semua peperangan ini!
Dan Ikenson, Direktur Herbert A. Stiefel Center untuk Studi Kebijakan Perdagangan di Cato Institute, mengatakan kepada Business Insider:
“Pasar akan sangat fluktuatif.. Perang dagang yang seharusnya mudah dimenangkan sepertinya akan berlangsung lama.”
Kerusakan langsung yang dapat ditimbulkan oleh currency war telah jelas dalam beberapa hari terakhir. Pasar Saham AS merosot ke kinerja terburuk mereka di tahun 2019 pada awal minggu ini, menghapus Miliaran dolar dalam kekayaan banyak investor, ketika Cina membiarkan yuan jatuh di bawah ambang psikologis kunci. Penurunan tersebut juga menandai tersentuhnya level terendah mata uang Yuan sejak 2008.
Sementara itu, Indeks Volatilitas CBOE, atau VIX, yang dikenal sebagai pengukur rasa takut dalam pasar saham, telah melonjak 32% dalam satu hari.
Kelemahan juga meluas ke indeks utama Eropa dan Asia. Fluktuasi tajam juga menghantam pasar obligasi karena imbal hasil Treasury 10-tahun anjlok, mendorong kurva imbal hasil – indikator resesi yang diawasi ketat – ke level paling Terbalik sejak 2007.
Hal ini juga diperparah oleh berbagai aksi pemangkasan suku bunga oleh berbagai bank sentral, seperti bank setral New Zealand, India, Thailand, dan lainnya.
Kecemasan pelaku pasar akan pelambatan ekonomi muncul dari eskalasi perang dagang AS dan Cina, plus potensi perang mata uang. Kombinasi dua hal tersebut bahkan dikatakan dapat memicu resesi seperti “Great Depression” yang melanda AS di tahun 1930an!
Indonesia Terkena Dampak

Karena semua faktor ini, perekonomian global terguncak dan mulai melanda wilayah Asia, termasuk pasar saham Indonesia dan indeks saham IHSG, yang cenderung turun dengan cukup kuat sejak bulan lalu.
Kita akan mengantisipasi lebih turunnya IHSG maupun beberapa saham utama di Bursa Efek Indonesia (BEI) jika Wall Street kembali terseret dalam penurunan yang kuat karena para investor lebih memilih untuk menempatkan dananya dalam aset-aset safe haven seperti Emas dan Yen.
Sekedar informasi, kemarin, Wall Street kembali jatuh karena meningkatnya kecemasan akan curreny war atau perang dagang yang semakin intes. Hal tersebut tercermin dari menguatnya aset-aset aman seperti emas dan obligasi.
Sebelumnya, indeks Dow Jones pun amblas lebih dari 400 poin atau 1,6% ke level 25.612,01, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing anjlok 1,3% dan 1,2%.
Beberapa analis senior mengatakan bahwa mereka belum bisa melihat bagaimanakah akhir dari semua kemelut ini sehingga bayang-bayang resesi masih menjadi momok para investor yang tentu melemahkan selera resiko mereka.