International Investor Club – Ekosistem P2P lending di Indonesia tengah berkembang dalam tiga tahun terakhir, membawa optimisme bagi para investor serta secercah harapan untuk ekonomi UMKM di tanah air.
Pada kenyataannya, pertumbuhan yang eksplosif ini juga menahan langkah para regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal membedakan perusahaan yang benar-benar bernilai bagi sektor finansial dari perusahaan yang sarat resiko dan cenderung ilegal, yang bisa menjanjikan keuntungan besar bagi para investor.

Dalam laporan KPMG tahun 2018, industri P2P lending Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 800% sejak tahun 2016, dengan jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 25 Triliun di akhir tahun 2018.
Baca Juga: SMF Terbitkan Obligasi Rp 4,46 Triliun, Bersiap!
Melihat tren P2P lending saat ini, akan lebih bijaksana bagi investor untuk melihat pola pada pasar yang lebih matang dan menahan diri untuk terjun dalam permainan sampai isu-isu mulai mereda. Dalam sajian berita DailySocial dijelaskan, naik turunnya ekonomi P2P lending telah berulang sebanyak dua kali- pertama di Republik Rakyat China, lalu di Amerika Serikat.
Berbeda dengan di China atau Amerika, P2P lending bukanlah konsep baru di Indonesia. Usaha patungan yang biasa dijalankan secara kolektif sudah ada selama berabad-abad lalu dalam bermacam bentuk. Perbedaan budaya ini merupakan faktor penentu utama dalam pertumbuhan ekosistem P2P lending di Indonesia.
Keakraban budaya dengan gagasan keuangan mikro memudahkan pemberi pinjaman dan peminjam untuk beradaptasi dengan model-model baru yang diperkenalkan oleh para pengusaha.

Di satu sisi, adopsi P2P lending yang siap pakai oleh penduduk Indonesia yang belum terjangkau produk perbankan turut memicu pertumbuhan ekosistem ini.
Baca Juga: Arus Kas Masih Positif, Hutama Karya Siap Lunasi Utang
Di sisi lain, kurangnya regulasi seputar pertumbuhan ini menimbulkan risiko tinggi bagi semua orang yang terlibat dalam industri, termasuk investor, pemberi pinjaman, dan peminjam.
Faktanya adalah tanpa dukungan dari sektor keuangan formal, tidak ada infrastruktur yang cukup untuk menopang operasi bisnis sektor ini. Tingginya rasio kredit bermasalah (NPL), yang mencapai di atas 3%, adalah hal umum.
Tanpa metode penilaian kredit yang akurat dan modal yang cukup untuk melakukan penjadwalan utang, sangat sulit–hampir tidak mungkin–bagi pemain sektor ini untuk mengkurasi para peminjam dengan baik dan menjamin para investor memperoleh nilai pengembalian yang dijanjikan.