International Investor Club – Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai menyoroti beberapa perusahaan tercatat (emiten) yang dinilai berpotensi terdepak (delisting) dari papan bursa seiring dengan lamanya periode suspensi atau penghentian sementara sahamnya.
Ultimatum pun secara tegas dan terang-terangan telah disampaikan oleh pihak BEI kepada emiten-emiten tersebut.
Baca Juga: ADRO Bakal Buyback Saham Triliunan Rupiah. Ini Jadwalnya
Delisting Lagi?

Dalam sajian berita CNBC Indonesia dijabarkan, ada beberapa kriteria yang dipertimbangkan untuk melakukan delisting paksa (force delisting) di antaranya belum terpenuhinya syarat kepemilikan publik (free float) dan kondisi keuangan perusahaan yang belum membaik.
Ini di luar delisting sukarela yang dilakukan PT Bentoel International Tbk (RMBA).
BEI menyatakan masih terdapat sejumlah perusahaan tercatat yang belum memenuhi ketentuan saham yang dimiliki oleh pemegang saham bukan pengendali dan bukan pemegang saham utama paling sedikit 7,5% atau 50 juta saham dari jumlah saham modal disetor, sesuai Ketentuan V.1 Peraturan Bursa Nomor I-A.
Berikut beberapa emiten yang terancam delisting yang dirangkum dari keterbukaan informasi BEI:
1. PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL)
Saham Bakrie Telecom berpotensi terdepak dari papan perdagangan Bursa seiring dengan penghentian sementara perdagangan saham tersebut yang telah mencapai 24 bulan pada 27 Mei 2021 lalu.
Saham BTEL sudah bertahun-tahun ‘tidur nyenyak’ di level Rp 50/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 1,84 Triliun.
BEI menyatakan bahwa Bursa dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila si emiten mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha emiten tersebut, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status emiten sebagai perusahaan terbuka, dan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Mengacu laporan keuangan tengah tahun 2021, BTEL yang dulu sangat sukses dengan produk Esia ini masih mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp 72,72 Miliar turun 57,97% dari periode yang sama tahun sebelumnya di mana rugi bersih perusahaan mencapai Rp 174,37 Miliar.
Perusahaan gagal mencatatkan laba meskipun pendapatan usaha naik 178,59% menjadi Rp 16,25 Miliar dari sebelumnya hanya sebesar Rp 5,83 Miliar.
Ekuitas perusahaan tercatat minus atau mengalami defisiensi modal yang tercatat berada di angka negatif Rp 11,37 Miliar.
2. PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN)
Emiten pengelola mal Plaza Indonesia yang dipimpin oleh Rosano Barack ini telah disuspensi sejak awal tahun ini, dengan BEI memperingatkan bahwa masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 12 Januari 2023.
Data BEI mencatat, suspensi dilakukan sejak 12 Januari 2021 lantaran perusahaan belum memenuhi ketentuan free float (minimal saham publik) sebesar 7,5%. Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2020, saham publik di PLIN hanya 2,99%.
Laporan Bulanan Registrasi Pemegang Efek Perseroan per 30 Juni 2021, saham PLIN dipegang oleh PT Plaza Indonesia Investama (PII) sebesar 96,61%, saham treasuri 0,4% dan sisanya investor lainnya (publik) 2,99% alias di bawah ketentuan free float (minimal saham publik) 7,5%.
Dalam keterangan resmi perusahaan, Evy Tirtasudira, Direktur Plaza Indonesia menjelaskan bahwa PLIN sebelumnya telah bermaksud untuk melakukan pemenuhan ketentuan free float minimal 7,5% itu dengan cara, antara lain, melaksanakan penambahan modal dengan menerbitkan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue.
Namun manajemen belum bisa menyelesaikan rights issue yang telah disetujui tahun lalu dan telah melewati batas waktu yang ditentukan sesuai ketentuan OJK.
Manajemen menjelaskan bahwa krisis pandemi dan PPKM yang baru-baru ini dilaksanakan menjadi alasan utama.
3. PT Northcliff Citranusa Indonesia Tbk (SKYB)
Emiten yang bergerak di bidang perdagangan ponsel dan produk pendukung ini berpotensi dihapus pencatatnya (delisting) di lantai bursa oleh BEI karena perdagangan sahamnya telah disuspensi selama 18 bulan dan masa suspensi perdagangan efek akan mencapai 24 bulan pada tanggal 17 Februari 2022 mendatang.
Potensi delisting ini salah satunya diakibatkan oleh buruknya kinerja keuangan perusahaan yang pasarnya mulai tergerus akibat pindahnya perilaku konsumsi masyarakat yang mulai mengadopsi dan terbiasa dengan transaksi online. Tercatat terakhir kali perusahaan melaporkan kinerja keuangannya adalah pada kuartal ketiga tahun 2019, atau hampir dua tahun lalu.
Hingga akhir kuartal ketiga 2019, pendapatan perusahaan turun 14,08% menjadi Rp 3,65 Miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 4,25 miliar.
Sedangkan kerugian perusahaan turun menjadi Rp 26,96 Juta dari akhir September tahun 2018 sebesar Rp 1,23 Miliar.
4. PT. Trikomsel Oke Tbk (TRIO)
Emiten perdagangan ponsel ini berpotensi dihapus pencatatnya (delisting) di lantai bursa oleh BEI karena perdagangan sahamnya telah disuspensi selama 24 bulan per tanggal 17 Juli 2021 lalu.
Pada kuartal pertama tahun ini perusahaan masih mengalami kerugian bersih sebesar Rp 18,29 Miliar, yang sedikit membaik dari kerugian sebesar Rp 70,21 Miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tercatat terakhir kali perusahaan memperoleh laba bersih adalah pada tahun 2014 lalu sebesar Rp 314 Miliar, setelahnya perusahaan terus mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Perusahaan juga mengalami defisiensi modal, sampai akhir Maret 2021 aset perusahaan tercatat sejumlah Rp 116,33 Miliar dengan liabilitas sebesar Rp 4,10 Triliun. Hal ini menyebabkan ekuitas perusahaan tercatat negatif Rp 3,99 Triliun.
5. AirAsia Indonesia (CMPP)
AirAsia Indonesia yang samanya dipegang perusahaan asal Malaysia, AirAsia Berhad, ini perdagangannya telah dihentikan sementara oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak tahun 2019 dengan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada tanggal 5 Agustus 2021.
Suspensi dilakukan lantaran AirAsia belum memenuhi ketentuan jumlah saham beredar di publik (free float) sebesar 7,5% sesuai dengan aturan bursa. Data BEI menunjukkan, saat ini jumlah saham publik AirAsia hanya 1,59%.
Kuartal pertama tahun ini perusahaan mencatatkan kenaikan rugi bersih yang membengkak dua kali lipat menjadi Rp 747,62 Miliar. Selain itu perusahaan juga mengalami defisiensi modal sejumlah negatif Rp 3,66 Triliun.
Selain itu ada saham RIMO, MYRX, MGNA, NIPS dan SUGI.